LENSAPANGANDARAN.COM – Suasana Minggu (10/8) di SMK Bakti Karya Parigi terasa berbeda. Sejak pagi, halaman sekolah dipenuhi aroma makanan lokal, dentingan musik tradisional, hingga warna-warni miniatur rumah adat yang berjejer rapi di stand-stand.
Semuanya menjadi bagian dari Gelar Karya Pelajar Pancasila dan Sosialisasi Relawan Kebajikan Pancasila, yang digelar oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerja sama dengan Komisi XIII DPR RI.
Acara ini dihadiri perwakilan pemerintah daerah, termasuk Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pangandaran, Dede Sutiswa Atmaja. Para narasumber yang hadir pun tak kalah istimewa, di antaranya Dr. (Tr.) Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP., M.Si., Prof. Dr. Muhammad Sabri, M.Ag., Dede Sutiswa Nataatmaja, dan Deni Wahyu Jayadi pakar pendidikan alternatif.
Kreativitas yang Menyatu dengan Budaya
Sejak awal acara, pengunjung disambut dengan sajian makanan tradisional sambil berkeliling melihat karya siswa—mulai dari miniatur rumah adat, pengenalan bahasa daerah, permainan tradisional, hingga pertunjukan tari dan musik.
Sebuah pementasan cerita rakyat Mop dari Papua berhasil mencuri perhatian, disusul penampilan palang pintu dari berbagai daerah seperti Berawi, Sunda, Flores, Sulawesi, dan Papua yang memberi sentuhan meriah dalam penyambutan narasumber.
Bagi Kepala Sekolah SMK Bakti Karya Parigi, karya-karya ini bukan sekadar pajangan. “Setiap karya adalah wujud nyata Pancasila yang hidup di tengah masyarakat,” ujarnya di sela acara.
Pancasila dalam Lima Jari
Dalam sesi talkshow, Agun Gunandjar mengajak peserta merenungi Pancasila dengan cara unik: lewat jari-jari tangan. “Saya menyebutnya Salam Lima Jari,” katanya.
Menurutnya, setiap jari memiliki makna yang merepresentasikan semangat Pancasila, sehingga Pancasila bukan sekadar hafalan, melainkan panduan hidup untuk menjadi manusia otonom dan merdeka.
Politisi yang pernah meraih rekor MURI dan rekor dunia sebagai anggota parlemen dengan periode terpanjang ini menegaskan, “Hidup berpancasila adalah jalan menuju kemanusiaan yang utuh.”
Pancasila adalah Cinta
Sementara itu, Muhammad Sabri menggambarkan Pancasila sebagai “ruh kebangsaan” yang memberi nyawa bagi Indonesia. Ia mengutip Sukarno yang menyederhanakan Pancasila menjadi gotong royong, namun Sabri menambahkan perspektifnya sendiri.
“Bagi saya, Pancasila itu sesederhana satu kata: cinta,” ucapnya sambil memperlihatkan simbol hati dengan jarinya, disambut tepuk tangan riuh 300 peserta.
Belajar Lewat Permainan
Penutup acara menjadi momen yang menghangatkan suasana. Deni Wahyu Jayadi mengajak peserta bermain permainan tradisional, dipandu anaknya yang menempuh jalur pendidikan nonformal.
Bersama kelompok kesenian Ki Pamanah Rasa, mereka mengingatkan bahwa nilai-nilai Pancasila sering hadir tanpa disadari dalam keseharian termasuk lewat permainan rakyat yang mengajarkan kebersamaan, sportivitas, dan gotong royong.
Acara pun ditutup dengan senyum dan tawa peserta, meninggalkan pesan sederhana namun dalam Pancasila bukan sekadar konsep, tetapi sesuatu yang bisa dirasakan, dilakukan, dan dirayakan bersama. [®]