LENSAPANGANDARAN.COM – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengeluarkan aturan soal penambahan kuota siswa untuk Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS). Aturan yang tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat No. 463.1/Kep/323-Disdik/2025 itu menuai polemik, terutama di kalangan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam kebijakan Gubernur adalah Dedi Mulyadi meminta agar satuan pendidikan dapat menerima murid sebanyak-banyaknya 50 murid.
Menyikapi hal itu, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMK kabupaten Pangandaran melakukan rapat membahas soal aturan tersebut. Musyawarah yang melibatkan seluruh kepala sekolah SMK Negeri maupun Swasta itu menyamakan persepsi menyikapi keputusan Gubernur Jabar.
Ketua MKKS SMK kabupaten Pangandaran, Drs. Ngadino Riadi MPd menilai, benang merah dari kebijakan Gubernur itu hanya ingin menekan angka anak-anak putus sekolah di Jawa Barat. Hal ini juga sejalan dengan kewajiban pemerintah yaitu wajib belajar 12 tahun.
“Artinya, minimal anak-anak di Jawa Barat itu tamat setingkat SLTA (Sekolah Lanjut Tingkat Atas),” kata Ngadino usai rapat di SMKN 1 Kalipucang Selasa, (8/7/2025).
Sebab, jika dilihat dari data di tingkat Jawa Barat lanjut dia, anak-anak yang putus sekolah dan anak yang tidak melanjutkan sekolah masih terbilang tinggi. Maka, keputusan tersebut untuk menekan persoalan itu.
“Alhamdulillah, setelah di beri pencerahan semuanya kondusif,” kata Ngadino.
Ngadino juga menegaskan, penambahan kuota 50 siswa tidak berarti setiap sekolah wajib menerima 50 siswa tambahan. Anak-anak tetap bebas memilih sekolah sesuai minat dan lokasinya.
“Tugas sekolah negeri hanya mengawal agar anak-anak PAPS ini tetap melanjutkan pendidikan, walaupun akhirnya bersekolah di tempat lain, termasuk swasta,” jelasnya.
Ia menjelaskan, data siswa PAPS bersumber dari pusat melalui sistem dapodik, bukan hasil input sekolah lokal. Misalnya, di wilayah Padaherang tercatat ada 122 anak yang termasuk kelompok PAPS. Namun setelah diverifikasi, sebagian besar dari mereka ternyata sudah terdaftar dan diterima di sekolah pilihan mereka.
“Ada sekitar 24 anak yang kemungkinan belum tertampung. Ini yang harus segera diakomodasi,” ucap Ngadino.
Jika jumlah siswa bertambah, sekolah siap membuka kelas tambahan. Namun tantangan lain muncul ketika minat siswa tidak sesuai dengan jurusan yang tersedia.
“Misalnya semua diterima di jurusan otomotif, tapi belum tentu semuanya berminat ke sana,” ungkapnya.
Dalam kondisi seperti itu, MKKS akan terus mengawal siswa PAPS hingga mereka menemukan sekolah dan jurusan yang sesuai minatnya, meskipun harus pindah ke sekolah swasta.
“Kami akan hubungi sekolah tujuannya agar pendataan tetap jelas. Yang penting, anak-anak tetap melanjutkan sekolah meskipun bukan di sekolah negeri,” pungkas Ngadino.