LENSAPANGANDARAN.COM – Ratusan orang di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat menggeruduk lahan kebun karek yang digarap oleh PT Perkebunan Nusantara VIII.
Aksi ini terjadi di wilayah Pasirkolotok, Desa Kutawaringin, Kecamatan Purwadadi Kabupaten Ciamis Jawa Barat, Minggu (26/11/2023).
Ketua Perkumpulan Masyarakat Pasirkolotok Bersatu (PMPKB), Eman Sulaeman mengklaim, tanah yang sekarang diduduki atau ditanami pohon karet oleh PT Perkebunan Nusantara VIII dahulunya adalah tanah masyarakat.
“Dasarnya, tanah ini dulu tanah masyarakat. Jadi, ada surat-suratnya berupa Cap Singa dan peta lokasi. Asli, tanah yang luasnya 200 hektare ini yakin tanah masyarakat,” kata Eman kepada sejumlah wartawan di Pasirkolotok Desa Kutawaringin, Minggu (26/11/2023).
Sementara, pohon karet yang ditanam oleh pihak PT Perkebunan Nusantara VIII lamanya sudah ada 64 tahun.
Dahulu, katanya dari pihak perusahaan mau dibuat percobaan selama 25 tahun dengan ditanami pohon karet.
“Nah, ada pembicaraan kalau garapan ini diklaim oleh pihak perusahaan, itu tanaman apa saja mau dibayar. Tapi, kenyataannya tidak dibayar,” paparnya.
Dan setelah 25 tahun kemudian, malah tidak ada kabar apapun kepada masyarakat yang memiliki garapan tersebut.
“Yang ada, malah ditanami pohon karet kembali. Dan ditanami pohon karet dulu sampai sekarang, lamanya sudah 64 tahun,” jelasnya.
Aksi yang dilakukan Dia bersama ratusan warga lain meminta tanah garapannya dikembalikan, sebenarnya sudah sejak dahulu.
“Tapi, susah. Warga yang memiliki garapan di lahan ini, itu hampir 1000 orang. Pak Bupati Ciamis, juga sudah menjembatani perselisihan ini tapi belum ngasih surat-surat kepemilikan berupa sertifikat,” ungkapnya.
Dan kini, sertifikat kepemilikan tanah warga ini sedang diserahkan kepada kuasa hukum yang sudah diberi kuasa.
“Sekarang, sedang membuat peta supaya nanti pengukurannya lancar,” kata Eman.
Seorang warga Desa Kutawaringin yang berada di Pasirkolotok, Aisyah mengatakan, awalnya tanah ini digarap oleh keluarganya dengan ditanami pohon kelapa.
“Bahkan, sudah panen buah kelapa dan hasil palawija lainnya. Nah, saat digarap kemudian ada oknum yang mau memanfaatkan lahan,” jelasnya.
Menurutnya, dahulu itu memang banyak lahan tidur karena tidak semua warga yang memiliki lahan senang bertani.
Terus, ada orang perkebunan (pihak perusahaan) itu menghubungi suaminya yang katanya mau dikerjasamakan karena sudah punya bibit pohon karet sudah berdaun tiga.
“Nah, dulu waktu itu suami saya bilang bahwa tanah ini bukan milik saya semua. Minimal dimusyawarahkan dengan para tokoh dan maksimal sama orang (penggarap) di pasir kelotok.”
“Jadi, dulu itu bukan diperpanjang HGU tapi dari perjanjian juga katanya mau dikerjasamakan,” ungkapnya. (*)